jump to navigation

Gadis Itu Depresi Sejak SMA…. (Bunuh Diri/Suicidal) 17/12/2009

Posted by chillinaris in Psychology, Uncategorized.
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,
2 comments

PROLOG:

Gadis Itu Depresi Sejak SMA….

JAKARTA, Gadis 19 tahun yang terjun dari jembatan layang Prumpung, Jumat lalu, mengalami depresi sejak SMA. Menurut keterangan ayah kandungnya, gadis berinisial DO itu sedang cuti kuliah untuk menjalani perawatan kejiwaan di beberapa rumah sakit.

Hal tersebut disampaikan Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Metro Jatinegara Inspektur Satu Supardjiono, Selasa (15/12/2009). “Sejak SMA depresi. Sempat dirawat di rumah sakit Pasar Rebo, Duren Sawit, dan rumah sakit Polri. Belum tentu masih mahasiswa, sedang cuti katanya. Namun, saya belum lihat kartu mahasiswanya,” ujar Iptu Supardjiono.

Mengenai kebenaran informasi bahwa DO diperkosa sebelum nekat terjun, polisi belum bisa memastikan hal tersebut karena masih menunggu hasil visum. “Diperkosa itu kan mesti ada keterangan medis. Belum ada hasil visum, baru besok,” kata Supardjiono.

Sampai saat ini korban belum dapat dimintai keterangan karena masih dalam perawatan dokter. Supardjiono menambahkan, menurut keterangan saksi yang didapat kepolisian, gadis itu sempat duduk di pinggir jembatan sambil mengayunkan kakinya sebelum melompat.

Pengamen melihat dia ngoceh-ngoceh. Saksi bilang, kayaknya ini orang stres, jadi enggak dihiraukan. Lalu, dia duduk di pinggir jembatan sambil juntai-juntai kaki, terjun,” imbuhnya.

DO yang tinggal di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, diberitakan terjun dari jembatan layang Prumpung, Jumat dinihari, akibat depresi setelah diperkosa beberapa orang. Dian mengalami patah tangan dan kaki sehingga dirawat di Rumah Sakit Budi Asih, Cawang, Jakarta Timur.

Sumber: Kompas.com (Selasa, 15 Desember 2009 | 13:52 WIB)

SETELAH BACA BERITA DI ATAS, PASTI KITA SEDIH BANGET, BAGAIMANA TIDAK, HAMPIR TIAP HARI ITU TERJADI DAN DIBERITAKAN DI TV..

SEKARANG BAGAIMANA JIKA HAL ITU DI ALAMI OLEH TEMAN, KELUARGA, ATAU BAHKAN BISA JADI KITA SENDIRI??! ITU BISA SAJA TERJADI BUKAN???!! DAN PASTINYA TIDAK BERHARAP DAN SEMOGA TIDAK TERJADI!!

KARENA ITU MENYEDIHKAN SEKALI, BUAT KITA(YANG BISA-NYA CUMAN NGE-BLOG N NULIS KOMEN DOANG HEHEE)…??!

TERUS APA SIH BUNUH DIRI ITU, DAN BAGAIMANA ITU BISA TERJADI, BERIKUT INI SEDIKIT INFO BUAT KITA, SEMOGA BERGUNA DAN MENJADIKAN KITA LEBIH BIJAK KEDEPANNYA.

🙂

Pengertian Bunuh Diri


Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan sesuatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak integrasi diri atau mengakhiri kehidupan, di mana keadaan ini didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian (Hoeksema, 2001).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebutkan jika bunuh diri adalah kematian dengan cara melukai, meracuni, atau mencekik atau menenggelamkan diri (mati lemas) dan ada fakta-fakta yang menunjukkan hal tersebut (apakah jelas ataupun tidak jelas) di mana hal-hal tersebut menyebabkan penderitaan pada diri sendiri (self-inflicted) dan hal-hal tersebut secara sungguh-sungguh dilakukan untuk membunuh diri sendiri (Hoeksema, 2001).

Wilkinson (1989) membedakan antara bunuh diri dengan usaha bunuh diri. Wilkinson, menyebutkan jika bunuh diri merupakan tindakan merusak diri yang disengaja oleh seseorang yang menyadari apa yang dilakukannya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Sementara usaha bunuh diri merupakan tindakan yang tidak fatal, paling sering melibatkan masalah dosis obat berlebihan (terutama obat pengubah suasana hati) tetapi dapat juga melibatkan berbagai jenis melukai diri sendiri. Hanya sekitar 10 % yang melakukan usaha bunuh diri secara serius bermaksud mengakhiri hidupnya. Bunuh diri dan usaha bunuh diri sendiri adalah dua hal yang saling tumpang tindih.


Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri asli (genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi (manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan tanpa perhitungan yang salah (miscalculation). Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka (bunuh diri) adalah percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk memanipulasi orang lain (Landis & Meyer., Shneidman., dalam Barlow & Durand, 2002 ).


Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan usaha bunuh diri (parasuicide). Lyttle menjelaskan bunuh diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh diri (attempted suicide).


Heeringen (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan kejadian fatal maupun kejadian yang tidak fatal.

Wilkinson (1989) meski membedakan antara bunuh diri dengan usaha bunuh diri, dia juga mengakui jika bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah dua istilah dan perilaku yang saling tumpah tindih (over lap). Brown dan Vinokur (2003) menyebutkan jika ada hubungan atau keterkaitan antara ide bunuh diri dengan perilaku bunuh diri yang sukses. Dengan kata lain, ide bunuh diri merupakan hal yang mengawali terjadinya perilaku bunuh diri yang sukses. Istilah usaha bunuh diri sendiri digunakan untuk menggambarkan perilaku yang potensial dalam menyakiti diri sendiri dengan hasil yang tidak fatal, yang mana ada fakta (nyata maupun tidak nyata), yang menunjukkan jika individu mempunyai keinginan untuk (dengan tingkatan tertentu) membunuh dirinya.

Tipe-Tipe Bunuh Diri

Shneidman (dalam Barlow dan Durand, 2002) membedakan bunuh diri berdasarkan individunya ke dalam empat tipe.

Berikut empat tipe bunuh diri menurut Shneidman :

1. Pencari Kematian (Death Seekers). Individu-individu yang termasuk dalam tipe ini adalah individu yang secara jelas dan tegas mencari dan menginginkan untuk mengakhiri kehidupannya. Kesungguhan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri, sudah hadir dalam jangka waktu yang lama, mereka telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kematian mereka. Mereka telah memberikan barang-barang milik mereka kepada orang lain, menuliskan keinginan mereka, membeli sepucuk pistol, lalu segera bunuh diri. Selanjutnya, kesungguhan mereka akan berkurang, dan jika mereka gagal melakukan bunuh diri, mereka kemudian menjadi ragu atau kebingungan (ambivalent) dalam memutuskan untuk mati.

2. Inisiator Kematian (Death Initiators). Inisiator-inisiator mati juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, tetapi mereka percaya jika kematian mau tidak mau akan segera mereka rasakan. Individu yang menderita penyakit serius tergolong ke dalam tipe ini. Sebagai contoh, beberapa penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebelum mereka mendapatkan perawatan, baik itu perawatan medis atau bukan, terlebih dahulu memutuskan untuk bunuh diri. Hal ini mereka lakukan dengan pertimbangan bahwa mati lebih baik dari pada harus menghadapi penyakit mereka yang mau tidak mau akan bertambah parah dan kemungkinan berubah menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Heaven’s Gate Cult

3. Pengabai Kematian (Death Ignorers). Bersungguh-sungguh untuk mengakhiri kehidupannya, tapi mereka tidak percaya jika keinginan tersebut merupakan akhir dari keberadaan (existence) dirinya. Mereka meyakini bahwa mati merupakan awal dari kehidupan mereka yang baru dan lebih baik. Kelompok-kelompok keagamaan tertentu termasuk ke dalam kategori ini. Sebagai contoh, pada tahun 1997, 39 orang anggota Heaven’s Gate Cult melakukan bunuh diri massal.


4. Penantang Kematian (Death Darers). Ragu-ragu (Ambivalent) dalam memandang kematian, dan mereka bertindak jika kesempatan untuk mati bertambah besar. Tetapi hal tersebut, bukanlah suatu jaminan jika mereka akan mati. Orang-orang yang menelan segenggam obat atau pil tanpa mengetahui seberapa berbahaya obat atau pil tersebut, kemudian memanggil seorang teman, tergolong ke dalam tipe ini. Anak-anak muda yang secara acak memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol, kemudian mengarahkan ke kepala mereka juga termasuk ke dalam tipe ini. Orang-orang yang termasuk Death Darers, adalah orang-orang yang membutuhkan perhatian atau membuat seseorang atau orang lain merasa bersalah. Dan hal tersebut, melebihi keinginan mereka untuk mati.

Menurut Durkheim (dalam Lyttle, 1986 & Nevid., dkk., 1997) yang konsern mengkaji bunuh diri dengan menggunakan perspektif sosiologi, menyebutkan jika bunuh diri terdiri atas beberapa prinsip tipe.

Beberapa prinsip tipe tersebut adalah :

1. Anomic Suicide. Kondisi ketidaknormalan individu berada pada posisi yang sangat rendah, individu adalah orang yang terkatung-katung secara sosial. Anomic suicide adalah hasil dari adanya gangguan yang nyata. Sebagai contoh, seseorang yang tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya yang berharga kemudian melakukan tindakan bunuh diri termasuk ke dalam tipe ini. Anomie disebut juga kehilangan perasaan dan menjadi kebingungan.

2. Egoistic Suicide. Kekurangan keterikatan dengan komunitas sosial atau masyarakat, atau dengan kata lain individu kehilangan dukungan dari lingkungan sosialnya atau masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang yang sudah lanjut usia (elderly) yang membunuh diri mereka sendiri setelah kehilangan kontak atau sentuhan dari teman atau keluarganya bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.

Seppuku

3. Altruistic Suicide. Pengorbanan diri (self-sacrifice) sebagai bentuk peran serta sosial dan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, sebagai contoh kamikaze atau seppuku di Jepang. Tipe ini disebut juga “formalized suicide”

4. Fatalistic Suicide. Merupakan bunuh diri sebagai akibat hilangnya kendali diri dan merasa jika bisa menentukan takdir diri sendiri dan orang lain. Bunuh diri massal yang dilakukan oleh 39 orang anggota Heaven’s Gate cult adalah contoh dari tipe ini. Kehidupan 39 orang ini berada di tangan pemimpinnya.

Meyer (1996) memaparkan beberapa tipe bunuh diri yang merupakan pengembangan atas tipe-tipe bunuh diri yang dikemukakan oleh Emile Durkheim.

Berikut pemaparannya :

1. Realistic. Bunuh diri yang dipercepat oleh tiap-tiap kondisi sebagai suatu prospek dari rasa sakit yang mendahului suatu kesungguhan untuk mati.

2Altruistic. Perilaku-perilaku mengabdi dari suatu individu terhadap kelompok ethic yang memerintahkan atau mengharuskan indvidu tersebut untuk melakukan tindakan bunuh diri.

3. Inadvervent. Individu membuat sikap seolah-olah akan melakukan bunuh diri agar bisa mempengaruhi atau memanipulasi seseorang, tetapi sebuah kesalahan pengambilan keputusan akan membawa kekondisi fatal (kematian) yang tidak diharapkan.

4. Spite. Hampir mirip dengan inadvervent suicide. Bunuh diri ini terfokus pada seseorang, tetapi keinginan untuk membunuh diri sendiri adalah sungguh-sungguh, dan hal tersebut dilakukan dengan harapan agar orang lain atau seseorang benar-benar menderita karena adanya perasaan bersalah.

5. Bizzare. Keinginan bunuh diri dari suatu individu adalah hasil dari adanya halusinasi (seperti adanya suara yang memerintahkan untuk melakukan bunuh diri) atau delusi (seperti adanya kepercayaan bila bunuh diri akan merubah dunia).

6. Anomic. Bunuh diri yang terjadi karena adanya ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan sosial (seperti dengan tiba-tiba kehilangan pendapatan atau pekerjaan). Secara nyata hal ini akan mengubah situasi kehidupan individu. Ketidakmampuan untuk melakukan coping yang baik, bisa mengakibatkan bunuh diri.

7. Negative self. Depresi yang kronis dan gangguan perasaan yang kronis menghasilkan percobaan bunuh diri yang berulang yang pada akhirnya menjadi faktor terdepan menuju kondisi yang fatal.



Etiologi Bunuh Diri

Secara etimologi dan terminologi, etiologi bermakna ilmu tentang penyebab terjadinya suatu penyakit. Anshari (1996) menyebutkan jika etiologi adalah penyebab utama suatu penyakit serta merupakan suatu penyelidikan mengenai hubungan sebab akibat dalam penyakit. Sementara etiologi menurut Sastrapradja (1981) adalah teori tentang sebab-sebab suatu penyakit. Jadi sangat jelas jika etiologi tidak ubahnya, jika menggunakan istilah yang lain, adalah faktor penyebab terjadinya suatu penyakit. Dalam lingkup penelitian ini, etiologi bunuh diri adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Etiologi adalah istilah yang digunakan untuk mewakili dua istilah yang lain, faktor penyebab dan faktor risiko, yang di beberapa literatur sering kali digunakan secara bergantian untuk menjelaskan maksud yang sama.

Ada berbagai macam penyebab seseorang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri. Hanati (2003) mengatakan jika penyebab terjadinya bunuh diri sangat beragam dan sebagian besar perilaku tersebut dilatar belakangi ketidakmampuan ekonomi, namun faktor pencetusnya atau pemicunya bisa masalah keluarga, sakit, atau masalah dengan pasangan.

Secara garis besar, kegagalan, penyakit mental, dan keterasingan atau isolasi dalam masyarakat merupakan penyebab utama bunuh diri. Sementara kebanyakan orang yang melakukan usaha bunuh diri tidak menderita penyakit mental. Usaha bunuh diri biasanya merupakan tanggapan secara impulsif terhadap krisis sosial yang menimpa seseorang dan tujuan utamanya adalah untuk menyampaikan adanya suatu penderitaan (Wilkinson, 1989).

Aspek biologis, psikologis, dan sosial merupakan aspek-aspek yang tidak dapat dilepaskan dan terintegrasi secara dinamis dalam kaitannya dengan faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Bunuh diri adalah masalah yang kompleks dimana tidak ada satu sebab atau satu alasan yang mendasarinya. Tindakan Itu dihasilkan dari interaksi yang kompleks secara biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, Brown dan Vinokur (2003) menemukan jika individu yang tidak mempunyai pekerjaan dan kondisi kesehatannya sangat rendah atau sedang mengalami depresi mempunyai ide-ide bunuh diri yang tinggi.

Dari beberapa pengamatan, bunuh diri dilihat sebagai tindakan yang dipercaya hanya dilakukan oleh orang yang tidak waras “insane people” (dapat dimaknai sebagai orang-orang yang tidak realistis). Meski demikian, pikiran tentang bunuh diri tidaklah mengindikasikan orang tersebut kehilangan kontak dengan dunia nyata, mempunyai konflik yang tidak disadari, atau mengalami gangguan kepribadian.

Mayoritas tindakan bunuh diri dihubungkan dengan mood disorder (Beck & Sterr, dalam Nevid., dkk., 1997). Pikiran-pikran tentang mati, termasuk upaya bunuh diri dapat saja terjadi pada individu dengan gangguan mood (Davidoff, 1991). Bahkan depresi (gangguan mood) merupakan penyebab utama tindakan bunuh diri (Hawari, 1996). 2003). Bunuh diri atau usaha bunuh diri juga dihubungkan dengan gangguan-gangguan psikologis yang lain seperti alkoholik, ketergantungan obat, skizoprenia, panic disorder, dan gangguan kepribadian borderline (Fawcett, dkk., Lesage, dkk., dalam Nevid., dkk., 1997). Hampir 90 % individu yang melakukan bunuh diri didiagnosa mengalami gangguan psikologis dan yang paling utama adalah depresi, skizoprenia, dan ketergantungan serta penyalahgunaan alkohol (Duberstein & Conwell, dalam Halgin & Whitbourne). Dalam banyak kasus bunuh diri, stres juga mempunyai peran yang penting atau dengan kata lain stres bisa menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri.

Durkheim (dalam Meyer & Salmon, 1998) menyebutkan jika perubahan sosial yang sangat cepat, kehilangan keterikatan dalam suatu kelompok, perasaan terasing atau teralienisasi (seperti halnya stockbrokers pada depresi tingkat tinggi), depresi, dan banyak lagi adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri. Brown dan Vinokur (2003) menyebutkan jika depresi, penyakit fisik, masalah keuangan dan kehilangan pekerjaan, serta isolasi sosial adalah beberapa faktor risiko terjadinya bunuh diri.

Shneidman (dalam Nevid., dkk., 1997) menjelaskan faktor-faktor yang berisiko untuk menimbulkan atau menyebabkan perilaku bunuh diri sebagai berikut:

Riwayat keluarga
Jika anggota keluarga mempunyai keinginan bunuh diri, maka akan ada peningkatan risiko anggota keluarga lain untuk melakukan hal yang sama (Ketty., Malone., dkk, dalam Nevid., dkk., 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Mortensen., dkk (2002) menemukan jika riwayat keluarga orang-orang yang sukses melakukan bunuh diri dan gangguan mental merupakan faktor-faktor yang secara signifikan dan terpisah meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dapat dimengerti, karena kebanyakan orang yang bunuh diri adalah orang-orang yang depresi, dan depresi tersebut diperoleh dari keluarga mereka (kondisi keluarga mereka).

Neurobiology
Fakta-fakta yang ada menunjukkan jika rendahnya tingkat serotonin pada otak manusia, berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan bunuh diri dan percobaan bunuh diri (Stanley., dkk, dalam, Nevid., dkk., 1997). Banyak penelitian menemukan adanya keterkaitan antara bunuh diri dengan rendahnya tingkat serotonin (Mann & Arango, dalam Hoeksema, 2001). Bunuh diri, sangat berhubungan dengan gejala-gejala depresi, dan fakta-fakta yang ada menyebutkan jika depresi dihubungkan dengan penurunan kadar serotonin individu (Purselle & Nemeroff, 2002). Individu yang pernah mencoba bunuh diri (suicide attemptter) dengan tingkat serotonin yang rendah, sepuluh kali lebih besar peluangnya untuk mengulang perbuatannya (bunuh diri) dibandingkan dengan individu dengan tingkat serotonin yang tinggi (Roy, dalam Hoeksema 2001). Rendahnya serotonin akan menimbulkan impulsifitas, ketidakstabilan, dan kecenderungan bertindak secara berlebihan dalam situasi tertentu (Spoont, dalam Nevid., dkk., 1997). Sangat memungkinkan bila rendahnya jumlah serotonin memberikan kontribusi kepada seseorang untuk berprilaku impulsif, salah satunya perilaku bunuh diri.



Adanya gangguan psikologis
Lebih dari 90 % orang-orang yang bunuh diri, menderita atau mengalami gangguan psikologis. (Black & Winokur., Brent & Kolko., Conwel., Dkk., Garland & Zigler., Orbach., dalam Nevid., dkk., 1997). Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Mental Helath. Net). Lebih dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri. Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri atau usaha bunuh diri. Alkohol dan penyalahgunaan obat memberikan kontribusi sebesar 25 sampai 50 % terhadap bunuh diri atau usaha bunuh diri (Frances., dkk, dalam Nevid., dkk., 1997). Gangguan kepribadian borderline juga berpotensi menyebabkan seseorang untuk bunuh diri. Selanjutnya, kombinasi antara gangguan kepribadian borderline dengan depresi akan semakin meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri atau usaha bunuh diri.

Stres yang menyertai setiap rentang kehidupan
Kemungkinan, faktor risiko bunuh diri yang terbesar adalah adanya kejadian-kejadian yang memalukan yang menyebabkan stres berat, kegagalan (nyata atau tidak) di sekolah atau kantor, atau penolakan dari seseorang yang dicintai (Blumenthal., Brent., dkk., Trautment., dkk., Joiner & Ruud, dalam Nevid., dkk., 1997). Stres yang menyertai rentang kehidupan adalah salah satu variasi yang memberikan kontribusi terhadap meningkatnya perilaku bunuh diri (Cohen-Sandler dkk., Isometsa dkk., Statham dkk., dalam Hoeksema, 2001). Kekerasan seksual dan fisik juga merupakan sumber stres yang signifikan. Fakta terbaru menyebutkan jika stres meningkatkan risiko bunuh diri dan usaha bunuh diri (Krug., dkk., dalam Hoeksema 2001).

Keliat (1994) memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri atau melakukan usaha bunuh diri sebagai berikut :

  • Kegagalan untuk adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
  • Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
  • Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri.
  • Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
  • Tangisan minta tolong.


Sementara Cook dan Fontain (dalam Keliat, 1994) menerangkan penyebab bunuh diri berdasarkan golongan umur. Namun dia tidak merinci rentang usia untuk masing-masing kategori. Cook dan Fontain menyebutkan bahwa penyebab bunuh diri sebagai berikut :

  1. Penyebab bunuh diri pada anak (Hafen & Frandsen)
  2. Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
  3. Situasi keluarga yang kacau
  4. Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
  5. Gagal sekolah
  6. Takut atau dihina di sekolah
  7. Kehilangan orang yang dicintai
  8. Dihukum orang lain
  9. Penyebab bunuh diri pada remaja (Hafen & Frandsen)
  10. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
  11. Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
  12. Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
  13. Perasaan tidak dimengerti orang lain
  14. Kehilangan orang yang dicintai
  15. Keadaan fisik
  16. Masalah dengan orang tua
  17. Masalah seksual
  18. Depresi
  19. Penyebab bunuh diri pada mahasiswa (Hendlin)
  20. Self-ideal terlalu tinggi
  21. Cemas akan tugas akademik yang banyak
  22. Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
  23. Kompetisi untuk sukses
  24. Penyebab bunuh diri pada lanjut usia (Hendlin)
  25. Perubahan situasi dari mandiri keketergantungan
  26. Penyakit yang menurunkan kemampuan fungsi
  27. Perasaan tidak berarti di masyarakat
  28. Kesepian dan isolasi sosial
  29. Kehilangan ganda (seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan)
  30. Sumber hidup berkurang


Hoeksema (2001) memaparkan beberapa faktor yang mempunyai keterkaitan erat dengan meningkatnya risiko bunuh diri pada anak-anak dan remaja.

Faktor risiko yang akan dipaparkan berikut ini adalah berdasarkan studi yang dilakukan di Amerika Serikat. Berikut pemaparannya :

1. Gender. Anak wanita tiga kali lebih besar percobaan untuk bunuh dirinya dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun anak laki-laki, biasanya lebih besar tingkat kesuksesannya dalam melakukan bunuh diri. Kemungkinan hal ini karena anak laki-laki menggunakan alat-alat bunuh diri yang lebih berbahaya dari perempuan, seperti pistol. Brody (dalam Hoeksema, 2001) menyebutkan jika pistol merupakan media atau alat yang paling tinggi tingkat kesuksesannya dalam mendukung bunuh diri pada anak-anak, bahkan saat anak tersebut masih berusia 5 tahun.

2. Usia. Orang-orang muda yang berada pada fase remaja akhir atau dewasa awal (usia 15-24 tahun) lebih berisiko untuk melakukan bunuh diri.


3. Kondisi geografis. Remaja yang berada di lokasi dengan tingkat populasi yang rendah, mempunyai keinginan untuk melakukan bunuh diri. Remaja yang berada di pedesaan wilayah barat Amerika serikat mempunyai tingkat bunuh diri yang tinggi.
Ras. Remaja berkulit putih mempunyai keinginan untuk bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja berkulit hitam. Sementara frekuensi bunuh diri pada remaja laki-laki berkulit hitam meningkat dengan sangat pesat. (Hicks., dkk., dalam Hoeksema, 2001).


4. Depresi dan kehilangan harapan. Depresi dan kehilangan harapan, terlebih lagi jika keduanya terkombinasikan dengan self-esteem yang rendah, adalah faktor risiko dalam melakukan bunuh diri yang paling utama pada remaja dan juga pada orang dewasa.
Adanya hal-hal yang mendahului perilaku bunuh diri. Seperempat dari remaja melakukan percobaan bunuh diri secara berulang-ulang. Lebih dari 80 % remaja menceritakan jika mereka akan bunuh diri sebelum mereka melakukan hal tersebut. Remaja yang akan bunuh diri, membawa senjata berbahaya, berbicara mengenai kematian, membuat rencana-rencana bunuh diri, atau melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan berisiko.


5. Hubungan keluarga yang tegang atau tidak nyaman. Masalah dalam keluarga, memberikan sumbangsih sebesar 75 % terhadap adanya percobaan bunuh diri. Masalah termasuk di dalamnya ketidakstabilan dan konflik keluarga (Asarnow., dkk., dalam Hoeksema, 2001). Orang tua yang bertindak dengan kekerasan (abuse), membiarkan (neglect), menolak (rejection) dan ketidakkonsistenan adalah hal-hal yang dimaksudkan.


6. Stres. Banyak kasus bunuh diri pada remaja secara langsung diakibatkan karena adanya kondisi-kondisi traumatis yang mengawali, yang menghasilkan stres yang berat atau luar biasa atau kecemasan. Stres berperan sangat besar terhadap terjadinya bunuh diri atau usaha bunuh diri pada remaja (Halgin & Whitbourne, 2003). Misalnya saja kerusakan hubungan dengan pacar, kehamilan yang tidak diinginkan, memasuki sekolah yang baru, atau sedang menghadapi ujian. (Brody dalam Hoeksema, 2001).
Kekerasan. Kekerasan yang sangat banyak, yang terjadi di dalam keluarga para remaja. Atau bisa juga kekerasan yang dilakukan oleh remaja itu sendiri.
Pengaruh buruk lingkungan social. Para remaja biasanya menganggap bunuh diri sebagai tindakan heroik yang menantang. Remaja yang berpotensi bunuh diri kadang-kadang adalah bagian dan peran serta dari kelompok-kelompok sosial, perilaku bunuh diri akan semakin besar terlihat ketika mereka atau kelompok mereka terpublikasikan. (Kessler.,dkk., Phillips & Carstensen, dalam Hoeksema, 2001).

Lyttle (1986) menjelaskan secara terpisah dan jelas antara faktor risiko yang memberikan kontribusi positif terhadap bunuh diri dengan faktor risiko yang memberikan kontribusi negatif terhadap bunuh diri.

Kontribusi positif dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempunyai potensi untuk meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri, sementara kontribusi negatif adalah faktor-faktor yang berpotensi untuk mengurangi risiko seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Berikut pemaparannya :

Faktor risiko yang memberikan kontribusi positif terhadap bunuh diri (meningkatkan risiko)

  1. Laki-laki
  2. Umur yang bertambah
  3. Duda
  4. Tidak mempunyai pasangan
  5. Kehilangan masa kanak-kanak
  6. Tinggal di daerah urban (Khususnya mereka yang tinggal di zona transisi)
  7. Standar Kehidupan yang tinggi
  8. Krisis Ekonomi
  9. Mengkonsumsi alkohol pada tingkat pertengahan
  10. Menggunakan obat-obat terlarang
  11. Tidak mempunyai pekerjaan
  12. Keluarga yang tidak kondusif
  13. Gangguan mental atau menderita penyakit-penyakit fisik yang kronis
  14. Faktor risiko yang memberikan kontribusi negatif terhadap bunuh diri (mengurangi risiko)
  15. Wanita
  16. Kepadatan populasi yang rendah
  17. Bekerja di pedalaman
  18. Keterikatan secara agama yang kuat, di mana individu bisa mengenali dan mengetahui dari mana dia bisa mendapatkan dukungan sosial.
  19. Kondisi pernikahan yang kondusif
  20. Anak dengan jumlah yang besar
  21. Ada keanggotaan dalam kelas sosial-ekonomi yang rendah
  22. Perang-ada hubungan timbal balik antara bunuh diri dengan pembunuhan.


Bunuh Diri dalam Perspektif Teori-Teori Psikologi

Teori-teori psikologi tentang bunuh diri, fokus pada pikiran dan motivasi dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri (Barlow & Durand, 2002). Teori-teori psikologi humanis-eksistensialis misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan persepsi tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan yang pasti. Beck (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) mengatakan bahwa bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres.


Shneidman (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) menyatakan bahwa individu yang mencoba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk mengkomunikasikan rasa frustrasinya kepada seseorang yang dianggap penting oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekatan teori psikodinamik, teori kognitif-behavior dan teori gangguan mental.

Teori Psikodinamik

Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang individu adalah merupakan masalah depresi klasik, dalam hal ini, seseorang yang mempunyai agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri (Meningger, dalam Meyer & Salmon, 1998). Konsep Freud tentang insting mati (death instinct), thanatos, merupakan konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi pencetus bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Teori Psikodinamik menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri (Meyer & Salmon, 1998).

Sigmund Freud

Freud menyatakan jika depresi adalah kemarahan seseorang yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Secara spesifik, ego yang terdapat pada seseorang yang berada pada kondisi seperti hal tersebut, dihadirkan kepada orang yang telah meninggalkannya. Kemarahan akan menjadi lebih besar jika orang yang depresi berharap untuk menghapus kesan atau sosok dari orang yang meninggalkannya. Penghapusan atau penghilangan kesan atau gambar tersebut dilakukan kepada dirinya sendiri dengan jalan bunuh diri.

Teori ini menyatakan jika bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain. Teori psikodinamik menyepakati atau menghendaki orang-orang yang bunuh diri jangan mengekspresikan kemarahannya ke dalam catatan atau surat, karena mereka tidak akan bisa mengekspresikan emosi tersebut dan mengembalikan perasaan tersebut kepada diri mereka.

Aliran-aliran psikodinamik terbaru yang muncul, masih terfokus pada kemarahan pada diri sendiri sebagai inti permasalahan atau penyebab terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri (Maltsberger, dalam Hoeksema, 2001).

Teori Kognitif-Behavior

Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap memberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh diri. Konsistensi prediksi yang tinggi dari variabel kognitif terhadap bunuh diri adalah kehilangan harapan (hopelessness), perasaan jika masa depan sangatlah suram dan tidak ada jalan untuk menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik atau positif (Beck, dkk., dalam Hoeksema, 2001). Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking), kekakuan dan ketidak luwesan dalam berpikir menjadi penyebab seseorang bunuh diri. Kekakuan dan ketidak luwesan tersebut menjadikan seseorang kesulitan dalam menemukan alternatif penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang dirasakan oleh orang tersebut menghilang.

Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab seseorang melakukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini (impulsif), akan semakin berisiko jika terkombinasikan dengan gangguan psikologis yang lain, seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan potensi untuk menghasilkan stres yang tinggi (Hoeksema, 2001).

Gangguan Mental

Hampir 90 % individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental (Jamison., NIMH., dalam Hoeksema, 2001., Wikipedia____). Gangguan mental yang paling sering dialami oleh orang yang melakukan bunuh diri adalah depresi (Wulsin, Valliant & Wells, dalam Hoeksema, 2001). Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Mental Health.Net). Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri (Keliat, 1994). Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku, suasana hati, dan pikiran individu yang melakukan bunuh diri didasarkan atas laporan dari keluarga dan teman-teman inidividu tersebut serta tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data yang ada, 40 individu yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya didiagnosa mengalami gangguan depresi (Petronis., dkk, dalam Hoeksema, 2001).


Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison (dalam Hoeksema, 2001) mengatakan jika setengah dari individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan psikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan narkoba (Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri.

~♥ஜ۩۞۩ஜ♥ ~